![]() |
| Source : Google |
Pro dan Kontra Gus Yahya ke Yerusalem
Menjelang akhir ramadhan, isu panas berhembus berkenaan dengan konflik Palestina-Israel. Kali ini bukan mengenai korban tewas, namun mengenai partisipasi Yahya Staquf sebagai perwakilan Indonesia di AJC (American Jewish Comittee) yang berlokasi di Yerusalem beberapa waktu lalu.Kedatangannya ke Yerusalem tentu membuat telinga masyarakat pro Palestina panas. Bagaimana tidak? Baru-baru ini Yerusalem diakui oleh AS sebagai ibukota Israel. Lalu Gus Yahya melenggang begitu saja kesana yang secara tidak langsung ikut mengakui bahwa Yerusalem merupakan ibukota Israel.
Beberapapro dan kontra kemudian muncul terhadap perihal ini. Pihak yang pro, berasal dari presiden sendiri selaku pemberi izin dan para santri Gus Yahya sendiri. Pengusung pemikiran moderat melawan konservatisme juga mendukung apa yang dilakukan Gus Yahya.
Gus Yahya mengatakan bahwa ini adalah ikhtiar diplomasi untuk mendamaikan pihak bertikai. Dia menyebut dirinya mengikuti jejak Gus Dur yang dulu juga pernah mengikuti AJC dengan tujuan yang sama.
Ketum GP Ansor Yaqut Cholil Qoumas menilai bahwa yang dilakukan Yahya merupakan langkah awal menuju langkah-langkah berikutnya. Bahkan Nuruzzaman hengkang dari partai Gerindra karena tidak terima kyainya dihina oleh Fadli Zon.
Menag Lukman Hakim Syariffudin berusaha menengahi dengan mengatakan cercaan mengenai Yahya perlu disudahi, yang mana hal ini menunjukkan keberpihakannya terhadap Yahya karena ia mengatakan Yahya malakukan hal tersebut untuk mewujudkan kedamaian Palestina. “Ia telah sampaikan ‘rahmah’ kepada semua mereka. Itu pesan utama agama,” ujar Lukman
Fadli Zon dari partai Gerindra merupakan salah satu pihak yang kontra. Ia merasa bahwa apa yang dilakukan oleh Yahya hanya mempermalukan Indonesia. Pihak hamas pun ikut mengecam apa yang dilakukan Yahya karena dianggap menghina rakyat Palestina dengan berbicara di panggung Israel.
Yahya sendiri mungkin tidak sadar atas konsekuensi tindakannya yang sangat tidak tepat. Pasalnya, jika memang ingin berdiplomasi dan menjembatani pihak bertikai, ia seharusnya datang dengan kesadaran sendiri.
Namun tidak, bukannya meminta datang ke Israel dengan membawa misi diplomasi, ia memenuhi undangan dari AJC, dimana disana ia hanya mengatakan apa yang ingin mereka dengar. Bukan sesuatu yang berasal dari hatinya. Kehadirannya disana hanya ingin disanjung dan menorehkan sejarah bagi dirinya sendiri. Hal ini terlihat dari dialognya dengan moderator yang intinya mengatakan bahwa AlQur’an pada dasarnya dokumen sejarah yang harusnya berubah ketika situasi berubah.
(Tintasifa/Zula)

Post a Comment